19 Februari 2009

Fenomena Ponari dan Kegagalan Kapitalisme

Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan bocah cilik asal Jombang Jawa Timur, bernama Ponari yang tiba-tiba mendapat kemampuan untuk mengobati berbagai penyakit dengan sebuah batu yang dicelupkan ke dalam air minum. Akibat ekspos media massa yang luar biasa, dengan cepat puluhan ribu orang dari seluruh Indonesia memadati dusun tempat tinggal Ponari di Jombang. Sudah empat orang yang tewas terinjak-injak karena berdesak-desakan di gang sempit menuju rumah Ponari. Memilukan memang. tetapi inilah potret kehidupan masyarakat kita. Kendati sudah jatuh korban, namun tidak menyurutkan keinginan pasien lain untuk mendapatkan pengobatan dari bocah kelas III SD yang terancam drop out karena hampir sebulan tidak sekolah ini.

Ada beberapa fakta yang mengemuka dari fenomena Ponari ini. Pertama, banyaknya masyarakat yang sakit. Hal ini ditunjukkan oleh membludaknya pasien Ponari yang bahkan sempat menembus angka 50.000. Angka kunjungan rumah-rumah sakit sebenarnya cukup tinggi. Sebagian rumah sakit pada waktu- waktu tertentu sampai tidak sanggup menampung pasien sehingga akhirnya pasien dirawat di lorong-lorong rumah sakit atau memilih mencari rumah sakit lain.
Banyaknya masyarakat yang sakit ini akibat tidak adanya pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, yang pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan kepribadian. Akibat diterapkannya sistem kehidupan sekuler, pembinaan informasi atau pembinaan kesehatan masyarakat cenderung dipisahkan dari pola pembinaan kepribadian. Tidak ada penekanan bahwa pelaksanaan perintah-perintah Allah dalam persoalan individu sebagai sebuh ketaatan. Termasuk di dalamnya pelaksanaan pola perilaku fisik, mental, maupun sosial yang berkaitan dengan perilaku sehat. Alhasil, pembinaan kesehatan menjadi hal yang tidak mengikat individu. Sementara itu media lebih mendominasi dalam pembentukan opini masyarakat mengalahkan pembinaan yang dilakukan oleh para pengemban dakwah.
Di samping pola perilaku masyarakat faktor lain yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kesehatan masyarakat adalah lingkungan di mana merek tinggal. Tata kota dan perencanaan ruang tidak dilaksanakan dengan memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dan sebagainya juga berpengaruh. Pembangunan pusat – pusat perindustrian tidak saja menimbulkan pencemaran lingkungan tetapi juga memunculkan permukiman kumuh dengan berbagai permasalahannya yang ujung-ujungnya menjadi tembat berkembang biak sumber-sumber penyakit.

Kedua, gagalnya negara dalam memberikan layanan kesehatan yang murah dan berkualitas. Sebagian dari pasien Ponari yang diwawacarai media mengeluhkan mahalnya biaya berobat ke dokter (okezone.com, 10 Februari 2009), sementara layanan kesehatan di puskesmas dinilai buruk. Layanan kesehatan yang buruk ini diakui oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Senin (16 Februari 2009) di Surabaya. Fenomena kemunculan dukun cilik Ponari merupakan kritik keras terhadap buruknya kualitas kesehatan di Wilayah Jawa Timur. Karena itu, perbaikan pelayanan kesehatan di Jawa Timur mendesak dilakukan, ungkapnya. (kompas.com, 16 Febrari 2009)

Ketiga, semakin irrasionalnya masyarakat. Ketika praktek pengobatan Ponari ditutup sebagian warga masyarakat yang hendak berobat mengambil uang bekas mandi Ponari. Mereka bahkan tanpa jijik langsung meminum air comberan itu karena beranggapan air itu dapat menyembuhkan. Sementara yang lain ada uyang mengais-ngais lumpur di dekat rumah Ponari. Fenomena ini seesungguhnya bukan kejadian secara tiba-tiba. Banyak praktik irrasional yang dilakukan masyarakat dan itu dibiarkan bahkan diuri-uri dengan dalih melestarikan budaya. Sebagai contoh, ribuan orang warga Surakarta dan sekitar berebut air bunga jamasan pusaka (pencuci pusaka) milik Pura Mangkunegaran dalam acara ritual malam 1 Sura di Pendopo Pura Mangkunegaran seperti memperbutkan air bekas mencuci pusaka di Solo. Salah satu kerabat Mangkunegaran, Irawati, mengatakan, air bunga jamasan pusaka yang direbutkan masyarakat tersebut merupakan berkah bagi warga yang bisa mendapatkan. Mereka mau berdesak-desakan merebutkan air bunga tersebut dan hal itu dilakukan warga yang berusia tua maupun muda berdesakan untuk bisa meperoleh air bunga itu. (kompas.co.id, 28 Desember 2008).

Bila kita runut ketiga fakta di atas semuanya bermuara pada tidak diterapkannya sistem Islam dalam kehidupan masyarakat sekaligus menunjukkan kegagalan sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini. Sistem kepitalisme sekuler yang diadopsi saat ini secara niscaya menjauhkan agama (Islam) dari kehidupan. Dalam sistem kapitalisme negara tidak berperan sebagai pemelihara urusan rakyat sebagaimana dalam Islam. Negara lebih banyak berfungsi melindungi kebebasan individu, meski pada prakteknya ettap saja hanya individu tertentu yang dilindungi. Termasuk dalam kebebasan yang diagungkan itu adalah kebebasan pemilikan yang membolehkan individu untuk mengumpulkan harta dengan cara apapun. Akibatnya sarana kesehatan banyak didominasi oleh lembaga-lembaga profit yang mencari keuntungan. Tak mengherankan bila kesehatan menjadi barang mahal karena tidak negara tidak menyediakannya sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam, di mana negara menyediakan layanan kesehatan yang murah (bahkan gratis) tetapi berkualitas, tidak membiarkan masyarakat mengambil resiko karena ketidakberdayaannya di dalam mendapatkan layanan kesehatan. Hal itu dilakukan karena negara bertugas melakukan memelihara uruasan rakyat (ri’ayatus su’uni; ummah) sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan dilanjutkan bahkan dikembangkan oleh para khalifah sepeninggal beliau. Semua pembiayaan kesehatan itu diambilkan dari Baitul Mal (kas negara). (Lebih lengkap mengenai kebijakan pemerintahan Islam dalam bidang layanan kesehatan silakan klik di sini)
Kebijakan negara dalam masalah kesehatan sesungguhnya tidak berdiri sendiri, melainkan terkait juga dengan bicang-bidang lain seperti ekonomi (terkait soal pendanaan) dan pembangunan tata kota (terkait masalah menciptakan lingkungan yang sehat). Bahkan terkait pula dengan bagaimana negara membina masyarakat menjadi individu-individu yang bertaqwa. Pembinaan kepribadian masyarakat yang diarahkan pada pembentukan pribadi – pribadi yang bertaqwa akan menjadikan masyarakat memiliki pola sikap yang sehat sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah SWT. Selama ini yang melakukan pembinaan individu kebanyakan adalah dari para aktifis dakwah dan lembaga-lembaga keagaamaan, yang bagaimanapun tetap memiliki keterbatasan kemampuan bila dibanding jika hal itu dilakukan oleh negara. Ironisnya, apa yang pembinaan yang telah dilakukan seperti terhapus oleh derasnya arus informasi yang banyak mempropagandakan gaya hidup hedonis dan liberal.
Akhirnya memang tidak bisa diingkari bahwa memperjuangkan kembalinya kehidupan Islam melalui tegaknya khilafah Islam menjadi sangat urgen. Sekaligus upaya untuk mempertahankan ideologi Kapitalisme semakin tidak menemukan relevansinya. Allahu a’lam.

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku

yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku

untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku

Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Sungguh ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya

membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung dibawah 'dokumen dan rahasia

negara'. Lihat saja statemen KAI bahwa hukum negara ini berdiri diatas pondasi suap.

Sayangnya moral sebagian hakim negara ini terlampau jauh terpuruk sesat dalam kebejatan.
Quo vadis Hukum Indonesia?

David
(0274)9345675

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons