12 Mei 2008

Hidup Enak

Dalam sebuah pertemuan dengan teman-teman ketika teman-teman ditanya menurut persepsi masing-masing 5 dari 7 orang yang ditanya menilai yang dianggap hidupnya paling enak adalah saya. Ketika giliran saya ditanya, saya juga bingung harus menunjuk siapa. Sayapun menganggap saya yang hidupnya paling enak di antara teman-teman, meskipun saya tidak sepenuhnya setuju dengan alasan teman-teman. Saya mempunyai penilaian saya sendiri. Ada satu orang lain lagi yang dianggap hidupnya paling enak. Dia mendapat dua suara termasuk dari dirinya sendiri. Artinya saya mendapat suara terbanyak dalam forum tadi. 

Mendapat penilaian sebagai orang yang hidupnya di antara teman-teman, tidak berarti saya secara materi berkecukupan. Jangan dibayangkan bahwa saya punya rumah yang megah, mobil, gaji yang yang mencukupi kehidupan saya dan sebagaimya. Jangan pula beranggapan bahwa teman-teman saya semua belum punya rumah, kendaraan, dan gaji yang mencukupi. Pada kenyataannya saya memang punya rumah namun sederhana. Itu juga dibelikan mertua. Kalau hujan saya harus menyediakan ember, waskom, dan kaleng bekas untuk mewadahi air hujan yang mengucur deras dari talang yang bocor. Saya bukan tak mau memperbaikinya, tapi saya memang harus menabung dulu. Kalau hari terik ruangan terasa gerah, bahkan kursi tamu ikut terasa hangat karena panas dari atap asbes merambat melalui udara di ruang tamu dan sampai ke kursi. Dindingnya sebagian masih bata merah yang belum ditutup semen, tidak rapi. Sebagian lainya dari triplek dan eternit. Namun kondisi rumah yang seperti itu tidak membuat saya sibuk memikirkannya. Sebab saya memperbaiki rumah dengan dana hutangan – apa lagi jumlahnya tidak sedikit - itu berarti saya membuat belenggu buat saya sendiri. Saya tetap harus bersabar menabung dan berharap Allah melapangkan rizqi buat saya. Saya tidak mau apa yang dialami teman saya berulang pada saya. Dia membangun rumah dengan mengambil hutang dari banyak sumber. Akhirnya dia harus banting tulang untuk melunasi. Kini sebagian besar waktunya habis untuk mencari tambahan bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena gajinya sebagai guru habis untuk membayar hutang. Betapapun saya harus mensyukuri karunia bisa memiliki rumah meski sederhana. Barangkali rasa syukur itu yang membuat hidup saya terasa enak.

Alhamdulillah saya juga punya kendaraan. Sepeda motor keluaran tahun 1995 yang kalo direm depan dan belakang sekaligus klaksonnya berbunyi, speedometernya rusak, kunci stangnya harus dibetulkan, dan BPKBnya lagi diurus karena baru balik nama. Namun saya tak mau keadaan motor saya membuat saya pusing. Saya memang memimpikan kendaraan yang lebih layak, tapi saya tidak mau terpenjara oleh mimpi saya itu. Saya harus bersyukur, karena biar begitu motor tersebut saya beli secara tunai. Hal ini membuat saya tidak dikejar-kejar setoran kredit motor seperti 2 orang teman saya. Lagi lagi rasa syukur ini yang membuat saya merasa hidup lebih enak.

Saat ini saya bekerja sebagai karyawan honorer dengan gaji di bawah UMK. Setiap tanggal 1 saya menerima honor dan pada tanggal 10 istri saya memberikan laporan keuangan bahwa APBRT (anggaran pendapatan dan belanja rumah tangga) sudah defisit. Untuk menutup kebutuhan harian, kadang dia meminjam uang dari adik saya atau meminjam uang dagangan majalah saya yang tidak seberapa. Anak istri saya juga sering sakit yang itu mengharuskan kami menyediakan dana untuk berobat. Namun saya tak mau keadaan ini membuat saya ngotot mencari tambahan. Kalaupun saya sering lembur itu lebih karena tuntutan pekerjaan yang memang seringkali menuntut penyelesaian segera. Bukan karena ambisi saya mencari tambahan. (Sekalipun jujur saya akui itu juga cukup membantu). Saya tetap harus memberi jatah waktu untuk keluarga, diri saya sendiri, dan masyarakat. Kendati selama ini belum bisa dikatakan betul-betul seimbang. Keadaan ekonomi yang sulit itu – lebih-lebih sebentar harga BBM bakalan naik dan menyempurnakan kenaikan harga bahan-bahan pokok yang sebelumnya sudah melonjak – saya upayakan tidak menjadi belenggu buat saya. Hal tersebut tak boleh menghalangi saya untuk menafkahkan rizki itu di jalan Allah. Termasuk di antaranya adalah membantu ibu saya yang memang sudah seharusnya menjadi kewajiban saya karena bapak saya sudah tidak ada. Saya mencoba menanamkan keyakinan bahwa rizki yang saya terima adalah milik Allah. Kalau saya belanjakan di jalan yang diridhaiNya sebenarnya saya sama sekali tidak merugi. Bukankah tanda ketaqwaan di antaranya adalah membelanjakan harta di jalanNya di waktu lapang maupun sempit. Dan orang yang bertaqwa dijanjikan akan diberi jalan keluar atas segala persoalan dan diberi rizki dari arah yang tidak terduga. Mudah-mudahan saya bisa bisa meraih predikat mulia itu.

Jadi sebenarnya persoalannya bukan terletak pada kondisi nyata yang ada di luar diri saya. Tetapi terletak pada bagaimana saya memberi persepsi atas realitas di sekelilingnya. Bila saya menganggap keadan rumah, kendaraan, dan penghasilan yang kurang sebagai persoalan besar yang harus dirisaukan dan diberi energi ekstra untuk memperhatikannya maka bukan hal aneh bila itu membuat saya stress dan gering taunen. Tetapi dengan pola berfikir yang saya coba install dalam pikiran saya alhamdulillah saya merasa bisa lebih enjoy dengan tetap mempunyai mimpi dan berupaya mewujudkan mimpi itu.

 

2 komentar:

ihsan mengatakan...

Sip!

Selamat bermimpi dan mengejar mimpi itu, mas....

:)

Unknown mengatakan...

You are the man! i should "banyak belajar" from you....

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons